- Akhlak Rasulullah Saw. terhadap Para Istrinya
Berikut beberapa perilaku santun dan perangai mulia Baginda Nabi dalam berumah tangga:
- Lembut dan Penuh Kasih
Rasulullah Saw. adalah seorang suami yang sangat meninggikan
kedudukan para istrinya dan amat menghormati mereka. ‘Â`isyah bercerita
tentang hal ini:
Sekelompok orang Habasyah masuk masjid dan bermain di dalamnya. Ketika itu Rasulullah Saw. berkata kepadaku, “Wahai Humayrâ`,
apakah kamu senang melihat mereka?” Aku menjawab, “Ya.” Maka beliau
berdiri di pintu rumah. Aku menghampirinya. Kuletakkan daguku di atas
pundaknya dan kusandarkan wajahku ke pipinya. Di antara ucapan mereka
(orang-orang Habasyah)
waktu itu, ‘Abû al-Qâsim (Rasulullah) orang baik.’ Lalu Rasulullah
berkata, “Cukup.” Aku berkata, “Ya Rasulullah, jangan tergesa-gesa.”
Beliau pun berdiri lagi untukku. Kemudian beliau berkata lagi, “Cukup.”
Aku berkata, “Jangan tergesa-gesa, ya Rasulullah.” Bukan melihat mereka
bermain yang aku suka, melainkan aku ingin para perempuan tahu kedudukan
Rasulullah bagiku dan kedudukanku dari beliau.”[1]
Bayangkan seorang istri berdiri di belakang suaminya untuk
melindunginya. Kemudian sang istri meletakkan dagunya di pundak sang
suami, wajah sang istri menempel di pipi sang suami. Sang istri meminta
sang suami berdiri lebih lama untuknya. Mereka berdiri di pintu rumah
sambil memerhatikan orang-orang yang sedang bermain di masjid depan
rumah. Kemudian sang istri bertutur, “Sesungguhnya bukan orang-orang
yang sedang bermain itu yang menarik perhatianku. Bukan pemandangan itu
yang membuatku ingin berlama-lama berdiri di sini bersama suami. Aku
hanya ingin para istri tahu kedudukanku bagi suamiku dan kedudukan
suamiku bagiku.” Bersama itu, sang suami dengan sabar memenuhi
permintaan sang istri terkasih, demi cinta padanya dan guna menjaga
perasaannya.
Betapa pun banyak dan beratnya tanggung jawab yang harus dipukul Sang
Rasul, beliau tidak pernah lupa akan hak-hak para istrinya. Beliau
memperlakukan mereka dengan amat lembut dan penuh kasih. Tidak pernah
sedikit pun beliau mengurangi hak mereka. Beliaulah yang dalam salah
satu haditsnya bersabda, “Kaum perempuan (para istri) adalah saudara
kandung kaum laki-laki (para suami).”[2]
Hadits ini menjadi dalil bahwa beliau tidak pernah menganggap kecil
kedudukan para istrinya. Beliau menempatkan mereka pada kedudukan yang
setara dengan beliau dan memposisikan mereka pada posisi yang agung.
Bagaimana tidak, pada diri seorang istri tersandang sejumlah predikat
mulia: ibu, istri, saudara perempuan, bibi, dan anak perempuan.
- Pengakuan di Depan Publik
Pada saat banyak suami menganggap bahwa sekadar menyebut nama istri
di depan orang lain dapat mengurangi harga diri, kita mendapati
Rasulullah justru menampakkan cintanya pada para istrinya di depan umum.
Shafiyah binti Huyay
mendatangi Rasulullah saw. sewaktu beliau beri’tikaf di masjid pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Kemudian ia berbincang dengan
beliau beberapa waktu. Ia berdiri untuk pulang. Rasulullah pun ikut
berdiri mengantarkan Shafiyah pulang. Ketika Shafiyah dan Rasulullah
sampai di depan pintu Ummu Salamah, dua orang Anshâr lewat dan memberi
salam kepada Rasulullah. Kepada dua orang Anshâr itu beliau bersabda,
“Perhatikanlah baik-baik oleh kamu berdua, dia ini tidak lain Shafiyah
binti Huyay.”[3]
- Tempat Bersandar di Kala Susah
Nabi Saw. adalah suami yang sangat memahami kondisi para istrinya,
baik kondisi fisik maupun psikis. Dua kondisi ini dari satu waktu ke
lainnya dapat berubah-ubah. Nabi Saw. sangat pandai memahami hal itu
terhadap para istrinya. Maymûnah, salah satu istri Nabi, berkata, “Suatu
kali Rasulullah mendatangi salah seorang dari kami. Salah seorang dari
kami itu sedang haid. Maka beliau meletakkan kepalanya di dada istrinya
yang sedang haid itu, lalu beliau membaca al-Qur`an.”[4]
Pada kali lain, Rasulullah Saw. berupaya begitu rupa menenangkan
salah satu istrinya yang sedang mengalami tekanan batin. Pada suatu
hari, beliau mendatangi Shafiyah binti Huyay. Beliau menemukan Shafiyah sedang menangis. Kepadanya beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Shafiyah menjawab, “Hafshah
berkata bahwa aku anak orang Yahudi.” Beliau berkata, “Katakan padanya,
suamiku Muhammad, ayahku Hârûn, dan pamanku Mûsâ!”[5]
Terlihat bagaimana Baginda Nabi menyelesaikan masalah dengan kata-kata sederhana namun mengandung makna yang dalam.
- Selalu Siaga Membantu Para Istri
Pada saat banyak suami yang enggan sekadar membantu istrinya karena
dianggap dapat menurunkan reputasi sang suami, kita dapati Rasulullah
Saw. tidak pernah terlambat membantu para istrinya. ‘Â`isyah pernah
ditanya tentang apa yang dilakukan Nabi Saw. di rumahnya? Ia menjawab,
“Beliau selalu melayani (membantu) istrinya.”[6]
- Bermusyawarah Sebelum Mengambil Keputusan
Di kala banyak suami memandang istrinya kurang akal dan agama,
Rasulullah yang mulia tidak pernah segan atau merasa keberatan mendengar
serta mengambil pendapat istrinya. Ini terlihat ketika beliau meminta
pendapat Ummu Salamah dalam perjanjian Hudaybiyah. Waktu itu beliau
memerintahkan para sahabat untuk mencukur rambut dan menyembelih hewan
kurban, namun mereka tidak mau melakukannya. Melihat respon para sahabat
tersebut, Baginda Nabi masuk ke tenda Ummu Salamah. Begitu beliau
menceritakan kepada Ummu Salamah apa yang beliau terima dari para
sahabat, Ummu Salamah langsung mengajukan pendapat yang cerdas. Ia
berkata: “Keluarlah, ya Rasulullah, kemudian engkau bercukur lalu potong
hewan kurban lalu!” Beliau pun keluar dari tenda, bercukur lalu
memotong kurban. Melihat hal itu, sontak para sahabat bangkit; mereka
serempak bercukur lalu memotong hewan kurban.[7]
- Tetap Santun Meski Saat Marah
Di kala tidak sedikit para suami yang ringan tangan kepada para istri
saat mereka melakukan kesalahan, kita mendapati Sang Nabi tetap bijak,
lembut, dan santun dalam memperlakukan para istrinya saat terjadi
silang-pendapat atau perselisihan antara beliau dan mereka. Ketika
kemarahan beliau agak tinggi, maka pergi menjauhi istri untuk sementara
waktu menjadi pilihannya. Tidak pernah beliau menampar satu pun dari
istrinya. Beliau menjauhi para istrinya pada saat mereka mendesaknya
menuntut nafkah.
Bahkan ketika Rasulullah berniat mencerai salah satu istrinya, kita
mendapati beliau tetap santun, lembut dan penuh kasih. Sawdah binti
Zam’ah yang sudah tua, tidak cantik, dan berbadan gemuk, merasa bahwa
jatahnya dari hati Rasulullah hanya rasa kasihan, bukan cinta.
Rasulullah pun kemudian berpikir untuk menceraikan Sawdah secara
baik-baik guna membebaskannya dari keadaan yang dianggap membebaninya
dan memberatkan hatinya. Dengan sabar Rasulullah menunggu sikap dan
jawaban Sawdah atas niat beliau untuk menceraikannya.[8]
Kesantunan, kesabaran dan keterkendalian diri Nabi saw. tetap
terpelihara, bahkan ketika ujian terberat menerpa dan mengguncang rumah
tangga beliau, yaitu saat terjadi apa yang disebut hâdits al-ifk. Sikap Nabi kala itu sungguh merupakan teladan bagi setiap Muslim. Ketika hâdits al-ifk ini tersebar, dengan kelembutannya yang khas dan tidak pernah luntur, Rasulullah berbicara kepada ‘Â`isyah:
Amma ba’d. Wahai ‘Â`isyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku tentangmu begini dan begitu.
Jika kamu bebas (tidak melakukannya), maka Allah akan membebaskanmu,
dan jika kamu pernah melakukan dosa maka mohonlah ampun kepada Allah dan
tobatlah kepada-Nya.[9]
Sampai akhirnya Allah menurunkan ayat pembebasan yang membuat tenang dan gembira hati Nabi, ‘Âisyah dan kaum Muslim semuanya.
Meski Rasulullah saw. memiliki kedudukan yang agung dan posisi yang
tinggi serta memanggul tugas mengurus umat Islam seluruhnya, namun
kelembutan dan kesantunan beliau dalam memperlakukan para istrinya
sungguh mengagumkan. Tidak seperti kebanyakan suami yang sering
menjadikan kesibukan kerja dan urusan-urusan di luar rumah sebagai dalih
kurangnya perhatian terhadap para istri mereka. Perlu diingatkan bahwa
berperilaku baik terhadap istri bukan hanya tidak menyakitinya, tapi
juga siap menerima perlakuan kurang baik darinya serta tetap lembut
terhadapnya ketika ia marah.
- Romantika dan Harmoni Rumah Tangga Nabi Saw.
Dalam rangka memuliakan, menghormati dan menggembirakan istri, Nabi
Saw. menjelaskan kepada umatnya bahwa bercanda-ria dan bersenda-gurau
(bermesraan) dengan istri termasuk perbuatan berpahala bagi suami.
Beliau bersabda, “Segala yang melalaikan seorang Muslim adalah batil,
kecuali memanah, melatih kuda, dan bercanda-ria dengan istri; ini semua
termasuk kebenaran.”[10]
Perhatikan bagaimana Rasulullah Saw., pemimpin besar umat Islam,
pengemban risalah agung kemanusiaan yang hati dan pikirannya tercurah
memperjuangkan kebaikan umat serta kejayaan Islam, adalah seorang suami
yang romantis. Tangannya yang mulia nan suci tidak segan-segan menyuapi
para istrinya. Dituangkannya air ke dalam cangkir lalu diberikannya pada
istrinya. Suatu hari beliau menjenguk salah satu sahabatnya yang sedang
sakit. Kepadanya beliau bersabda, “Bahkan suapan yang kamu angkat ke
mulut istrimu, itu bernilai sedekah untukmu.”[11]
Betapa indah Islam. Sungguh menyeluruh ajaran-ajarannya. Memang hanya
suapan. Namun ia mendekatkan pasangan suami-istri sehingga satu sama
lain saling merasa nyaman dan tenang berada di sisi pasangannya. Memang
hanya suapan. Tetapi ia dapat memantik cinta dan kasih-sayang di antara
suami-istri. Memang hanya suapan. Tapi ia menorehkan senyum di bibir
suami-istri yang saling menyayangi. Memang hanya suapan. Namun rasa
sehati dan sehaluan yang ditimbulkannya menularkan romantika dan harmoni
antara suami-istri.
Lihatlah Baginda Rasul, bagaimana beliau minum satu gelas dengan para istrinya. Dengarkan penuturan ‘Â`isyah berikut:
Aku minum, ketika itu aku sedang haid, lalu aku memberikannya kepada
Nabi Saw. Beliau meletakkan mulutnya pada tempat (bekas) mulutku lalu
minum. Aku menggigit daging, ketika itu aku sedang haid, lalu
memberikannya kepada Nabi Saw. Beliau meletakkan mulutnya pada tempat
(bekas) mulutku.[12]
Sungguh indah apa yang diperagakan Sang Nabi. Sungguh mengagumkan apa
yang beliau teladankan untuk umatnya. Pribadi agung dan mulia itu tidak
canggung menunjukkan cinta dan kemesraannya terhadap para istrinya.
“Ritual” lain yang kerap Nabi Saw. lakukan terhadap istri-istrinya
dalam rangka memupuk romantisme dan harmoni rumah tangga adalah mengecup
istri. Dalam keadaan puasa pun beliau mengecup ‘Â`isyah. Ia bertutur,
“Rasulullah Saw. mendekatiku untuk mengecupku. Aku katakan bahwa aku
sedang berpuasa. Beliau bersabda, ‘Aku juga sedang berpuasa.’ Beliau
menghampiriku lalu mengecupku.”[13]
Kemudian, bagi Nabi Saw. yang mulia dan agung, membantu mengerjakan
tugas-tugas rumah tangga bukanlah perbuatan yang menurunkan harkat dan
martabat beliau, justru memperteguh keluhuran akhlak beliau. Perhatikan
bagaimana junjungan alam, pemimpin umat Islam, dan pemuka seluruh
manusia itu tidak pernah merasa malu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga, membantu para istrinya, memperbaiki sandalnya, menjahit
sendiri pakaiannya, mengolah bahan makanan dan lain sejenisnya.
Alih-alih merendahkan derajat sang suami, hal itu justru memperteguh
tali kasih pasangan suami-istri. Hal itu juga akan mematri perasaan
istri bahwa sang suami penuh perhatian, peduli, dan siaga dalam membantu
meringankan tugas-tugas dirinya.
Maka, bagi pribadi Nabi Saw. yang seperti digambarkan di atas, bukan
perkara berat untuk melakukan kerja-sama dengan para istrinya dalam
urusan-urusan ‘ubudiyah seperti shalat, sedekah serta kewajiban dan
amal-amal sunnah lainnya, seperti kerja-sama (saling membangunkan) untuk
shalat malam. Beliau pernah bersabda:
Allah merahmati seorang suami yang bangun malam lalu shalat lalu
membangunkan istrinya, kemudian istrinya juga shalat. Jika istrinya
enggan bangun, ia memercikan air ke wajahnya. Allah merahmati seorang
istri yang bangun malam, lalu shalat lalu membangunkan suaminya,
kemudian suaminya juga shalat. Jika suaminya enggan bangun, ia
memercikan air wajahnya.[14]
Beliau juga bersabda:
Subhânallâh. Fitnah apa yang telah diturunkan malam ini dan
rahmat apa yang telah diturunkan. Siapa lagi yang akan membangunkan para
penghuni kamar-kamar (istri-istri)? Duhai, betapa banyak yang
berpakaian di dunia tapi telanjang di akhirat.[15]
Hadits di atas mengandung beberapa pelajaran, di antaranya himbauan
agar para suami membangunkan istrinya di malam hari untuk beribadah.
Indah sekali sepasang suami-istri bangun malam hari. Keheningan suasana
menambah ketenangan dan ketenteraman jiwa mereka. Di hadapan Sang
Pencipta keduanya meratakan dahi, rukuk, sujud mengakui kelemahan diri,
menyatakan kepasrahan total pada Sang Mahakuasa. Kedua tangan mereka
lalu menengadah memohon yang terbaik dari Yang Mahabaik. Airmata mereka
meleleh memastikan ketulusan doa dan asa yang mereka panjatkan pada Yang
Maha Pengabul doa.
‘Â`isyah menceritakan sepotong kisah indah bersama Rasulullah saw.:
Pada suatu malam, ketika beliau tidur bersamaku dan kulitnya sudah
bersentuhan dengan kulitku, beliau berkata, “Ya ‘Â`isyah, izinkan aku
beribadat kepada Tuhanku.” Aku berkata, “Aku sesungguhnya senang merapat
denganmu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadat kepada Tuhanmu.”
Beliau bangkit mengambil ghariba lalu berwudhu. Ketika berdiri
shalat, kudengar beliau terisak-isak menangis. Kemudian beliau duduk
membaca al-Qur`an, juga sambil menangis sehingga airmatanya membasahi
janggutnya. Ketika beliau berbaring, airmata mengalir lewat pipinya
membasahi bumi di bawahnya. Pada waktu fajar, Bilâl datang dan masih
melihat Rasulullah Saw. menangis. Bilâl bertanya, “Mengapa Anda menangis
padahal telah Allah ampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang kemudian?”
Beliau menjawab, “Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur. Aku
menangis karena malam tadi turun surat Âli ‘Imrân ayat 190-191.
Celakalah orang yang membaca ayat ini dan tidak memikirkannya.”[16]
Bagi ‘Â`isyah, seluruh perilaku Rasulullah Saw. mempesonakan. Dia
mengutip saat ketika Rasulullah Saw., junjungan alam, manusia paling
mulia, meminta izin kepadanya untuk beribadat di tengah malam. Bagi
‘Â`isyah, istri Rasulullah Saw., pada permintaan izin itu terkandung
penghormatan, perhatian, dan kemesraan. Apa lagi yang lebih indah yang
diperoleh seorang istri dari suaminya selain itu? [17]
Di luar itu, kehidupan Rasulullah Saw. amatlah sederhana, meskipun Allah memudahkan bagi kaum Muslim mendapatkan banyak ghanîmah. Dua kejadian berikut menjadi bukti akan kesederhanaan dan kebersahajaan beliau: Pertama, kejadian îlâ`. Ketika kaum Muslim mengalami banyak kemenangan, ghanîmah dan harta, para istri Nabi Saw. menuntut beliau sedikit menambah income
buat belanja rumah-tangga mereka. Mereka ingin ada sedikit perubahan,
dari hidup miskin dan sulit menjadi sedikit berkecukupan dan lapang.
Tuntutan ini cukup membuat Nabi Saw. terganggu. Ketika Abû Bakr dan
‘Umar tahu hal ini, keduanya mendatangi putri masing-masing. Kepada
putri-putrinya Abû Bakr dan ‘Umar mengingatkan bahwa Nabi Saw. tidak
berkenan dengan tuntutan mereka. Sedangkan istri-istri Nabi Saw. yang
lain, Abû Bakr dan ‘Umar tidak campur tangan terhadap mereka. Maka
mereka pun tetap menuntut tambahan. Mereka menilai tuntutan itu wajar,
terlebih kebanyakan orang Islam waktu itu hidup berkecukupan. Mereka
juga menguatkan tuntutannya dengan alasan bahwa mereka selama ini sudah
sabar menjalani kemiskinan, kekurangan dan kesulitan hidup. Maka setelah
Allah mengkaruniakan harta dan ghanîmah yang melimpah kepada umat Islam, mereka pikir kini saatnya menghentikan kemiskinan, kekurangan dan keserbasempitan.
Nabi Saw. benar-benar terganggu dengan tuntutan para istrinya itu.
Sampai-sampai beliau menjauhi mereka dan enggan bicara dengan mereka
selama sebulan penuh, hingga tersebar rumor di tengah-tengah masyarakat
bahwa beliau telah mencerai mereka.
Kedua, kasus takhyîr (tawaran opsi). Kejadian ini merupakan kelanjutan kejadian îlâ`
(tuntutan istri-istri Nabi Saw.) di atas. Ketika para istri Nabi Saw.
tetap dengan tuntutan mereka, Allah kemudian menurunkan ayat:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, “Jika kamu sekalian
mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya
kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta
(kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan
bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar” (QS al-Ahzâb/33: 28-29).
Kepada para istrinya, Nabi Saw., mengajukan dua opsi: hidup bersama
beliau dalam kemiskinan dan kesederhanaan, atau hidup tanpa beliau dalam
keserbaadaan dan kelimpahan. Kepada ‘Â`isyah beliau berkata,
“Bermusyawarahlah dengan kedua orangtuamu, jangan terburu-buru dalam
urusan ini!” ‘Â`isyah segera menjawab, “Apakah aku harus bermusyawarah
tentang Allah dan Rasul-Nya, ya Rasulullah?” Seperti diketahui, semua
istri beliau pada akhirnya memilih Allah, Rasul-Nya dan negeri akhirat
dalam kesederhanaan, kemiskinan, kesempitan dan kesulitan dunia. Sejarah
menjadi saksi bahwa tidak ada minyak untuk menyalakan lampu di rumah
Nabi Saw. pada hari beliau dipanggil Yang Mahakuasa.[18]
Jika bukan seorang nabi, terbayangkah ada orang bisa hidup seperti
itu? Orang yang benar-benar mencermati hal ini dan mempelajari sîrah
Nabi Saw., terutama kehidupan rumah-tangga beliau, tidak akan sampai
menuduh beliau Saw. sebagai seorang pengumbar syahwat dan pencari
kepuasan materil.
- Kunci Kebahagian dalam Rumah Tangga
Dalam al-Qur`an, kata paling tepat menggambarkan kebahagiaan adalah aflaha. Kata ini adalah derivasi dari akar kata falâh. Kata falâh
memiliki banyak arti seperti kemakmuran, keberhasilan, pencapaian apa
yang kita inginkan atau kita cari, sesuatu yang dengannya kita berada
dalam keadaan baik, menikmati ketenteraman, kenyamanan, kehidupan yang
penuh berkah, keabadian, kelestarian, terus-menerus, keberlajutan.[19]
Rincian makna falâh
ini sejatinya merupakan komponen-komponen kebahagiaan. Kebahagiaan
bukan hanya ketenteraman dan kenyamanan saja. Kenyamanan atau kesenangan
satu saat saja tidak melahirkan kebahagiaan. Mencapai keinginan saja
tidak dengan sendirinya memberikan kebahagiaan. Kesenangan dalam
mencapai keinginan biasanya bersifat sementara. Satu syarat penting
harus ditambahkan, yakni kelestarian atau menetapnya perasaan itu dalam
diri kita.[20]
Kebahagiaan merupakan tujuan hidup. Kata-kata singkat ini memiliki
cakupan makna dan wilayah yang amat luas. Maknanya sudah dipaparkan di
atas. Wilayahnya seluas kehidupan itu sendiri dengan segala aspek dan
bidangnya, tidak terkecuali aspek kehidupan berumah tangga. Pada setiap
aspek kehidupan, pangkal kebahagiaannya adalah agama. Agama mengajarkan
bahwa pembentukan keluarga, menjaga kesucian diri, dan melahirkan
anak-keturunan yang saleh merupakan tujuan utama berumah tangga.
Keputusan untuk membangun mahligai rumah tangga merupakan keputusan
yang penting dan determinan. Sebelum diambil, keputusan ini harus
ditimbang matang matang. Seseorang terlebih dahulu harus mengetahui
siapa dirinya, apa yang diinginkannya, dan hal apa saja yang sejalan
dengan karakteristik dirinya. Hidup berumah tangga bukan hanya
meniscayakan cinta, tetapi juga tanggung jawab besar yang menghajatkan
persiapan serta kesiapan dalam segala aspek.
Rumah tangga adalah hubungan abadi bertujuan membangun keluarga dan
mencetak generasi unggul. Maka ia harus bertopang pada banyak pondasi
yang kuat. Pondasi yang pertama dan utama adalah agama. Oleh karena itu
Rasul Saw. bersabda, “Pilihlah wanita beragama (salehah), maka kamu akan
bahagia.”[21]
Kebaikan akhlak dan keunggulan moral harus menjadi asas bagi
kehidupan berumah tangga. Sabda Nabi Saw., “Jika datang kepada kalian
orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah (anak
perempuan kalian) dengannya.”[22]
Hal lain harus tersedia dalam rumah tangga adalah takâfu` (kesetaraan) antara dua pihak dalam segala bidang; sosial, budaya, keilmuan, pemikiran, dan lainnya. Artinya, harus ada common spaces yang mempersatukan dua pihak serta memungkinkan keduanya membangun mahligai rumah tangga idaman. Takâfu` memberi
harapan besar akan adanya suasana saling menghormati, saling memahami
serta pola interaksi yang sehat dan setara. Selain takâfu`, sikap lapang dan mau membuka telinga merupakan unsur penting dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Patokan, kaidah, prasayarat, aturan dan lain sebagianya yang harus
tersedia dalam membangun rumah tangga satu sama lain haruslah berjalan
seiring serta tertata secara sinergis. Keelokan rupa harus dipadukan
dengan keindahan agama serta keluhuran akhlak. Pun demikian
kaidah-kaidah lainnya, masing-masing tidak bisa berdiri sendiri-sendiri.
Sabda Nabi Saw.:
Tidaklah seorang Mukmin mendapatkan sesuatu yang lebih baik setelah
takwa kepada Allah selain istri salehah. Jika ia memerintahnya, ia
(istri) menaatinya. Jika ia memandangnya, ia (istri) membuatnya senang.
Jika ia memberinya sesuatu, ia (istri) menggunakannya dengan baik. Dan
jika ia tidak bersamanya, ia (istri) dapat menjaga dirinya dan harta
suaminya.[23]
Sesungguhnya kehidupan berumah-tangga ibarat sebuah perusahaan
patungan. Para pemilik sahamnya adalah suami dan istri. Keduanya bertemu
dan bersatu pada akad yang butir-butirnya diambil dari al-Qur`an dan
Sunnah. Akad dan kesepakatan mereka disaksikan oleh para malaikat langit
dan bumi serta orang-orang di sekitar mereka berdua. Semesta pun ikut
bergembira atas tercapainya akad ini.
Allah Swt. berfirman:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang (QS al-Rûm/30: 21).
Cinta layaknya bayi yang masih menyusu; perlu orang yang
memerhatikan, mengasuh dan menjaganya supaya tetap sehat dan ceria. Jika
tidak, ia akan lemah, layu, lalu tak bernyawa. Atas kuasa dan
kehendak-Nya, kehidupan suami-istri menjadi sumber kasih-sayang,
ketenangan dan ketenteraman. Ini sudah menjadi undang-undang Tuhan.
Namun, bagaimana melaksanakan undang-undang itu dalam kehidupan?
Jangan pernah menduga mewujudkan kebahagiaan berumah-tangga semudah
membalik telapak tangan atau seringan mengangkat cangkir berisi minuman.
Ia meniscayakan sejumlah jalan dan langkah. Berikut beberapa tips
menjadikan rumah tangga nyaman, aman dan tenteram:
- 1. Usir Setan dari Rumah
Ini mungkin terdengar menggelikan. Tapi maknanya sangat dalam dan
luas. Jika rumah dirancang untuk menjadi tempat istirahat yang nyaman
dan tenteram, maka tidak mungkin itu bisa tercapai jika setan berada di
dalamnya. Maka usirlah musuh yang jahat dan licik ini. Cara mengusirnya:
Pertama, mengingat Allah saat masuk rumah dengan setidaknya mengucap bismillah. Setan tidak bisa bertahan pada tempat di mana nama Allah disebutkan. Ucapkan juga assalamu’alaikum. Firman Allah:
Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini)
hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi
salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah,
yang diberi berkat lagi baik (QS al-Nûr/24: 61).
Selain bismillâh dan salam, banyak doa-doa yang diajarkan
agama untuk dibacakan saat memasuki rumah. Di sini bukan tempatnya untuk
menunjukkan doa-doa itu. Cukuplah diingat bahwa menyebut dan mengingat
Allah mencegah masuknya setan ke rumah.
Kedua, menyebut (mengingat) Allah saat makan dan minum. Sabda Nabi Saw.:
Apabila seseorang masuk ke rumahnya dan menyebut nama Allah saat
memasukinya dan saat makannya, maka setan berkata (kepada sesamanya),
“Tidak ada tempat tinggal dan tidak ada makanan bagi kalian.” Dan
apabila ia masuk ke rumahnya tapi tidak menyebut nama Allah ketika
memasukinya, maka setan berkata (kepada sesamanya), “Kalian menemukan
tempat tinggal.” Dan apabila ia tidak menyebut nama Allah ketika makan,
maka setan berkata (kepada sesamanya), “Kalian menemukan tempat tinggal
dan makanan.”[24]
Ketiga, banyak membaca al-Qur`an, terutama surat al-Baqarah
tiga malam sekali. Sabda Rasulullah Saw., “Jangan jadikan rumah-rumah
kalian (seperti) kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang
dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah.”[25]
Keempat, membersihkan rumah dari ucapan, perbuatan dan
benda-benda yang dapat menjauhkan kita dari Allah. Hal-hal demikian
dapat mengusir malaikat dan mendatangkan setan.
- Datangkan Malaikat ke Rumah
Bagaimana mendatangkan malaikat ke rumah kita? Pertama,
bersihkan rumah dari gambar-gambar tidak senonoh dan patung. Nabi Saw.
bersabda, “Malaikat tidak masuk ke rumah yang di dalamnya ada patung dan
gambar.” [26]
Kedua, bersihkan rumah dari anjing. Rasul Saw. bersabda, “Malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar.”[27]
- Memohon Perlindungan dari Jiwa yang Jahat
Agama kita memerintahkan untuk memohon perlindungan, pagi dan sore
hari, dari kejahatan jiwa. Dalam hal ini, di antara doa Nabi Saw.
adalah:
Ya Allah, Yang Mahatahu yang gaib dan yang nyata, Pencipta langit dan
Bumi, Tuhan dan Pemilik segala sesuatu. Aku bersaksi tidak ada tuhan
selain Engkau. Aku memohon perlindungan dari kejahatan diriku dan dari
kejahatan setan serta kemusyrikannya.[28]
Nabi Saw. mengajari kita memohon perlindungan dari kejahatan diri sendiri sebelum kejahatan setan. Allah Swt. berfirman:
Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha penyanyang (QS Yûsuf/12: 53).
Tutur santun dan perangai terpuji suami-istri dipadu dengan doa-doa
perlindungan di pagi dan sore hari. Keberkahan dan keselamatan tiada
henti diharapkan.
- Tahan Emosi dan Kendalikan Diri
Pada titik ini banyak pasangan suami-istri mengalami kesulitan,
bahkan kegagalan. Efeknya, tekanan dan lara batin muncul, disusul
terganggunya kejiwaan anak karena seringnya melihat orangtua bertengkar
dan memperagakan ketidakharmonisan.
Nabi Saw. melarang kita marah. Seorang laki-laki berkata kepada
Rasulullah Saw., “Nasihati aku!” Beliau bersabda, “Jangan marah.” Beliau
mengucapkannya sampai tiga kali.”[29] Sabdanya yang lain, “Permudahlah jangan mempersulit. Apabila salah seorang dari kalian marah maka diamlah.”[30]
Marah itu manusiawi. Semua bisa marah. Yang dituntut adalah
mengendalikan dan menahan marah, bukan memperturutkan dan mengumbarnya.
Kemarahan akan melahirkan kekisruhan jika ditimpali dengan kemarahan
serupa. Jika masing-masing pandai menahan diri, atau setidaknya salah
satu mengekang diri, kekisruhan tidak akan muncul dan rumah tangga tidak
terguncang. Allah memuji orang yang sanggup menahan marah:
Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Âli ‘Imrân/3: 134).
Marah berefek negatif terhadap kesehatan jasmani. Maka jagalah
kesehatan raga dengan memelihara kesehatan jiwa. Menahan marah terbukti
menyehatkan jiwa. Ketika marah, darah dalam jantung bergolak,
urat-syaraf ikut tegang, wajah dan mata memerah. Banyak marah dapat
memancing beberapa ketidakberesan fisik seperti tekanan darah,
arteriosclerosis, dan paralysis.
Menahan marah bukan hanya dengan diam, sementara anggota tubuh yang
lain, terutama mata, berbicara banyak dengan kata-kata yang pedas dan
kasar melebihi bahasa lisan. Mulut bisa saja tertutup saat marah, tapi
sorot mata menyiratkan kata-kata sarat hinaan. Mulut boleh jadi
terkunci. Tapi gemetarnya bibir menjelaskan bahwa jiwa bergejolak, hati
panas penuh emosi. Ini tidak boleh terjadi. Bukan hanya mulut, semua
anggota tubuh tidak boleh memberi sinyal kemarahan. Saat kemarahan
datang, pejamkan mata dengan tenang, jangan mencari-cari pembenaran
untuk kemarahan Anda.
Untuk semua kaidah, aturan, syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi
dalam mewujudkan rumah-tangga yang bahagia, Baginda Nabi adalah sosok
ideal dan teladan dalam menerapkan semua itu. Maka tidak heran jika
kemudian rumah-tangga beliau adalah rumah-tangga bahagia dalam arti yang
sesungguhnya.
Di rumah Nabi dapat kita temui kesederhanaan, keindahan budi,
keluhuran pekerti, dan kezuhudan materi meski—kalau beliau mau—mudah
saja baginya memiliki dunia beserta isinya. ‘Umar bin al-Khaththâb
sampai meneteskan airmata karena terharu melihat rumah Rasulullah Saw.
hanya diperlengkapi ghariba (wadah air dari kulit) dan roti yang
sudah menghitam. Beliau tidur di atas tikar kasar yang dianyamnya dengan
tangan sendiri, dan sering tampak pada pipinya bekas-bekas tikar itu.[31]
Siti ‘Â`isyah Umm al-Mu`minîn menuturkan kesederhanaan hidup
bersama Rasulullah Saw., “Semenjak datang ke Madinah, keluarga Muhammad
tidak pernah makan kenyang dari gandum (roti) selama tiga malam
berturut-turut hingga beliau wafat.”[32]
Inilah pemimpin dan penglima besar umat Islam. Beginilah sebaik-baik
makhluk itu menjalani hidup ini. Kenikmatan dunia tidak pernah terlintas
di benaknya. Kemegahan dunia tidak pernah menjadi cita-citanya. Ia
mengambil dari dunia sebatas yang dapat mengantarkannya pada kesejatian
hidup dan kebahagiaan negeri akhirat. Untuk menahan lapar, Baginda Nabi
acap-kali mengikatkan batu di perutnya sebagai ganjal.[33]
Pada suatu malam beliau keluar rumah. Di jalan beliau bertemu dengan
Abû Bakar dan ‘Umar. Beliau bertanya kepada mereka, “Apa yang membuat
kalian keluar rumah di saat ini?” Mereka menjawab, “Lapar, ya
Rasulullah.” Beliau bersabda, “Dan aku, demi Zat Yang jiwaku di
Tangan-Nya, sungguh telah membuatku keluar rumah apa yang telah membuat
kalian keluar rumah. Bangkitlah!” Mereka pun bangkit bersama Rasulullah,
kemudian mendatangi rumah seorang laki-laki dari Anshâr. Tapi orang
Anshâr itu tidak ada di rumahnya. Yang ada hanya istrinya. Wanita itu
kemudian menemui mereka dan berkata, “Selamat datang.” Rasulullah Saw.
berkata kepadanya, “Di mana suamimu?” Ia menjawab, “Ia pergi mencari air
segar untuk kami.” Ketika itu laki-laki Anshâr datang. Dipandangnya
Rasulullah dan dua orang sahabatnya (Abû Bakar dan ‘Umar), lalu berkata,
“Alhamdulillah, tidak ada seorang pun hari ini yang memuliakan para
tamu selain aku.” Lalu ia pergi dan kembali lagi sambil membawakan kurma
mentah, kurma matang dan kurma kering, lalu berkata, “Makanlah ini!”
Kemudian ia mengambil pisau. Rasulullah berkata padanya, “Tidak usah
memerah susu.” Laki-laki itu lalu menyembelih kambing untuk mereka.
Mereka pun makan daging, kurma dan minum. Setelah mereka kenyang dan
segar karena cukup minum, Rasulullah Saw. bersabda kepada Abû Bakr dan
‘Umar, “Demi Zat Yang jiwaku di Tangan-Nya, kalian benar-benar akan
ditanya tentang nikmat ini di hari kiamat. Lapar telah membuat kalian
keluar rumah dan kalian belum pulang sampai kalian mendapat nikmat ini.”[34]
Hingga di sini, beberapa poin dapat kita tarik. Pertama,
kepemilikan dunia sebenarnya tidak haram bagi siapa pun, termasuk Nabi
Saw., asalkan sejalan dengan aturan Islam tentang kepemilikan. Bagi Nabi
Saw. sendiri, kalau beliau mau, dunia dan seisinya merupakan perkara
mudah untuk dikuasainya. Tapi beliau lebih memilih hidup sederhana,
bukan karena mengharamkan dunia, melainkan karena ingin hidup merakyat;
hidup seperti kebanyakan umatnya, merasakan derita mereka, akrab dengan
lapar dan dahaga seperti mereka. Kedua, bagi Nabi Saw. dan para
istrinya, sulitnya kehidupan materi sama sekali tidak membuat mereka
tidak bahagia. Bagi para istri Rasul, predikat Umahât al-Mu`minîn
(Ibunda Kaum Mukmin) yang mereka sandang sudah merupakan kemuliaan dan
kehormatan tiada tara. Bagi mereka, menjadi pendamping Sang Nabi Saw.
dalam berjuang menebarkan risalah Islam dan menegakkan kebenaran
merupakan kebahagiaan tiada duanya.
Ketiga, dalam kejadian seperti dipaparkan sebelum ini, Nabi
Saw. tidak lupa memanfaatkan kejadian tersebut untuk mengingatkan
sahabat-sahabatnya akan akhirat; “Kalian benar-benar akan ditanya
tentang nikmat ini di hari kiamat.” Bandingkan dengan kita. Kita nikmati
berbagai rezki Allah; makanan, minuman, dan sebagainya. Tapi kita lupa
bahwa nikmat apa pun akan ditanya (dimintai pertanggung jawabannya)
kelak di hari perhitungan.
Seperti telah disinggung di atas, di sini kembali kita dengarkan
‘Umar bercerita tentang kesederhanaan hidup Nabi Saw. ‘Umar berkata:
Aku masuk rumah Rasulullah Saw. Ketika itu beliau sedang tidur di
atas tikar kasar. Tidak ada antara tubuh beliau dan tikar itu kasur.
Bekas tikar kasar terlihat di pipinya. Kepalanya bersandar pada bantal
dari kulit yang sudah disamak. Kemudian kuarahkan pandanganku ke isi
rumah beliau. Demi Allah, aku tidak melihat sesuatu selain tiga lembar
kulit yang belum disamak. Aku menangis. Beliau bertanya, “Apa yang
membuatmu menangis?” Aku jawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Kisrâ (raja
Persia) dan Kaisar (raja Romawi) adalah seperti adanya mereka (hidup
mewah dan tinggal di istana megah), padahal engkau adalah Rasul Allah.”
Aku katakan pada beliau, “Berdoalah kepada Allah, sehingga Dia memberi
kelapangan atas umatmu! Sesungguhnya Persia dan Romawi, mereka diberi
kelapangan dan diberi (kenikmatan) dunia, padahal mereka tidak menyembah
Allah.” Beliau bersabda, “Apakah kamu ragu, hai putra al-Khaththâb?
Mereka adalah kaum yang telah disegerakan bagi mereka kenikmatannya di
dunia.” Aku berkata, “Ya Rasulullah, mohonkanlah ampun bagiku!”[35]
Namun demikian, Nabi Saw. adalah pribadi yang murah hati dan
dermawan. Tidak salah jika dikatakan bahwa beliau adalah manusia paling
murah hati dan paling ringan tangan dalam memberi. Seandainya
perbendaharaan bumi ada di tangannya, pastilah beliau akan memberikannya
pada siapa saja yang memerlukan dalam semalam saja. Pada suatu hari,
para sahabat menemukan Nabi Saw. sedang memperbaiki sandal anak yatim;
dan pada hari yang lain sedang menjahit pakaian kumal milik perempuan
tua yang miskin. Beliau mengumpulkan sebagian sahabatnya yang miskin di
sudut masjid. Beliau membagikan makanan sedikit yang dipunyainya untuk
mereka, sehingga beliau sendiri tidak pernah makan kenyang selama tiga
hari berturut-turut. Di antara penghuni sudut masjidnya itu adalah Abû
Hurayrah, perantau dari Daus yang bekerja sebagai pelayan dari rumah
yang satu ke rumah yang lain.[36]
Bercermin pada pribadi Nabi Saw., mengacu pada rumah tangga yang
beliau bangun bersama para istri, terutama kebersahajaan serta
kesederhanaannya dalam hal materi, maka sungguh salah fatal orang-orang
yang mengira bahwa kebahagiaan terletak pada tumpukan harta, keliru
besar orang-orang yang menyangka kebahagiaan ada pada kendaraan mewah,
rumah megah, dan tabungan menggunung.
Kebahagiaan bukan terletak pada itu semua. Kebahagiaan sejati sebuah
rumah tangga, seperti ditelandankan Sang Nabi, adalah rumah yang islami;
para penghuninya tinggal dan hidup dalam zikrullah, dalam membaca
ayat-ayat suci, dalam kebaikan dan kesalehan. Kebahagiaan terdapat pada
saling memahami, kerjasama dan bahu-membahu dalam menunaikan tanggung
jawab yang ada di pundak masing-masing dari suami-istri dalam jalinan
kasih-sayang sejati, dalam rajutan cinta yang hakiki, dalam balutan
kesetiaan berasaskan takwa dan kesalehan.
- Kesimpulan dan Saran
Muhammad Saw.—baik Muhammad sebagai manusia biasa (basyar), sebagai pengemban risalah (rasûl), sebagai pemimpin negara Madinah (imâm), sebagai panglima pasukan kaum Muslim (qâ`id), sebagai pemutus sengketa yang diajukan kepadanya (qâdhî), sebagai pemberi fatwa (muftî),
dan sebagai apa pun yang pernah diperankannya selama ia hidup,
keagungan dan kemuliaannya tidak terbantahkan. Dulu, orang-orang kafir
Mekah menolak beriman kepada Muhammad bukan karena mereka mengingkari
kebenaran yang dibawanya, bukan karena memungkiri keagungan pribadinya.
Mereka enggan mengikuti seruan Muhammad karena ia mengajarkan
ajaran-ajaran yang bertolak belakang dengan kepentingan mereka. Di
mana-mana, kepentingan sering menggelapkan mata dari melihat dan
menerima kebenaran yang sudah amat nyata, senyata matahari di siang
hari.
[1] Ahmad bin Syu’aib al-Nasâ`î, Sunan al-Nasâ`î al-Kubrâ, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Imiyah, cet. I, 1991, Jilid 5, hal. 307, hadits no. 8951.
[2] Lihat antara lain Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Mekkah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994, jilid 1, hal. 168, hadis no. 767; Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzî, al-Jami al-Shahih Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, jilid 1, hal. 189, hadis no. 113; Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, Beirut: Mu`assasah al-Risalah, cet. II, 1999, Jilid 43, hal. 264, hadis no. 26195, dan Ahmad bin Ali (Abu Ya’la) al-Tamimi, Musnad Abi Ya’la, Damaskus: Dar al-Ma`mun li al-Turats, cet. I, 1984, Jilid 8, hal. 149, hadis no. 4694.
[3] Baca antara lain al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi…, jilid 4, hal. 321, hadis no. 8381; Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami al-Shahih, Beirut & Yamamah: Dar Ibn Katsir, cet. III, 1987, Jilid, 2, hal. 715, hadis no. 1930, dan Muhammad bin Hibban, Shahih Ibn Hibban, Beirut: Mu`assasah al-Risalah, 1993, Jilid 10, hal. 348, hadis no. 4497.
[4] Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad…, jilid 44, hal. 391, hadis no. 26810.
[5] Baca antara lain Muhammad bin Ahmad al-Qurthubî, Tafsîr al-Qurthubî, Kairo: Dâr al-Sya’b, cet. II, 1372 H, 16, hal. 326.
[6] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad, Beirut: Dar al-Basya`ir al-Islamiyah, cet. III, 1989, jilid 1, hal. 190, hadis no. 538. Lihat juga al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi…, jilid 2, hal. 215, hadis no. 2989.
[7] Baca Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta`wîl Ayy al-Qur`ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H., vol. 2, hal. 221.
[8] Lihat di antaranya ‘Ali bin Ahmad bin Hazm, al-Muhallâ, Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, tt., vol. 10, hal. 192. Baca juga Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H, vol. 8, hal. 266.
[9] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami al-Shahih,
Beirut & Yamamah: Dar Ibn Katsir, cet. III, 1987, jilid, 2, hal.
942, hadis no. 2518. Lihat juga Abu al-Husain Muslim al-Nisaburi, al-Jami al-Shahih (Shahih Muslim), Beirut: Dar al-Jail & Dar al-Afaq al-Jadidah, tt, jilid 8, hal. 112, hadis no. 7196.
[10] Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, al-Jami al-Shahih; Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, tt, jilid 4, hal. 174, hadis no. 1637.
[11] Al-Bukhari, al-Jami…, jilid 5, hal. 2047, hadis no. 5039.
[12] Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 1, hal. 168, hadis no. 718.
[13] Ibn Hanbal, MusnadAhmad… jilid 43, hal. 345, hadis no. 26321.
[14] Ahmad bin Syuaib al-Nasa`î, Sunan al-Nasa`î al-Kubra, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1991, jilid 1, hal. 411, hadis no. 1300.
[15] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi…, jilid 4, hal. 487, hadis no. 2196.
[16]Ibrâhîm bin Muhammad al-Husaynî, al-Bayân wa al-Ta’rîf,Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1401 H, vol. 1, hal. 125.
[17]Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Bandung: Mizan, cet. XIV, 2003, hal. 203.
[18] Lebih jelasnya dapat dibaca antara lain Sulaymân bin Ahmad al-Thabrânî, al-Mu’jam al-Awsath, Kairo: Dâr al-Haramayn, 1415 H, vol. 8, hal. 326.
[19] Lihat Jaluluddin Rakhmat, Meraih Kebahagiaan, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cet. II, 2004, hal. 24.
[20] Rakhmat, Meraih…, hal. 24-25.
[21] Al-Bukhari, al-Jami…, jilid 5, hal. 1958, hadis no. 4802.
[22] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi…, jilid 3, hal. 395, hadis no. 1085.
[23] Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr, tt., jilid 1, hal. 596, hadis no. 1857.
[24] Abu Dawud Sulaiman al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt., jilid 3, hal. 406, hadis no. 3767.
[25] Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 2, hal. 188, hadis no. 1860.
[26] Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 6, hal. 162, hadis no. 5667.
[27] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, Beirut-Yamamah: Dar Ibn Katsir, cet. III, 1987, jilid 4, hal. 1470, hadis no. 3780. Lihat juga Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 6, hal. 156, hadis no. 5636.
[28]Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi…, jilid 5, hal. 467, hadis no. 3392.
[29] Ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah…, jilid 1, hal. 449, hadis no. 1402; Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi…, jilid 7, hal. 308, hadis no. 14577. Lihat juga Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi…, jilid 4, hal. 371, hadis no. 2020.
[30] Sulaiman bin Dawud al-Thayalisi, Musnad Abi Dawud al-Thayalisi, Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt., jilid 1, hal. 340, hadis no. 2608.
[31] Baca Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, cet. XI, 2003, hal. 83.
[32] Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 8, hal. 217, hadis no. 7633.
[33] Baca antara lain ‘Ali bin Abî Bakr al-Haytsamî, Majma’ al-Zawâ`id,
Kairo-Beirut: Dâr al-Rayyân lî al-Turâts-Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1407
H, vol. 8, hal. 306. Lihat juga ‘Abdul’azhîm al-Mundzirî, al-Targhîb wa al-Tarhîb, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1417 H, vol. 4, hal. 96.
[34]Muslim al-Nisaburi, Shahih Muslim…, jilid 6, hal. 116, hadis no. 5434.
[35]Al-Bukhari, al-Adab al-Mufrad…, jilid 1, hal. 398, hadis no. 1163. Baca juga al-Hakim al-Nisaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. I, 1990, jilid 2, hal. 679, hadis no. 4244.
[36] Baca Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Bandung: Mizan, cet. XIV, 2003, hal. 206.
0 komentar:
Posting Komentar